Dalam perjalanan sejarahnya terjadi banyak perubahan kepemimpinan yang terjadi di wilayah Kalimantan pada zaman dahulu.

Scroll Untuk Lanjut Membaca
Raja Kalimantan Timur Sejak Era Kesultanan Sampai Masuknya Hindia Belanda

hal ini ditandai dengan berbagai kesultanan yang berdiri sebagai penguasa daerah dan memiliki raja terkenal hingga manca negara.

Berikut Hirarki Kesultanan dan Peristiwa yang Terjadi di Kalimantan

Kesultanan Kutai Kartanegara

Kerajaan Kutai Kartanegara yang kemudian menjadi Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura berdiri pada awal abad ke-13 di daerah yang bernama Tepian Batu.

Dikenal sebagai Kutai Lama (kini menjadi sebuah desa di wilayah Kecamatan Anggana) dengan rajanya yang pertama yakni Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325).

Kerajaan ini disebut dengan nama Kerajaan Tanjung Kute dalam Kakawin Nagarakretagama, yaitu salah satu daerah taklukan di Pulau Kalimantan oleh Patih Gajah Mada dari Majapahit.

Berdiri pada awal abad ke-13 di daerah yang bernama Tepian Batu atau Kutai Lama (kini menjadi sebuah desa di wilayah Kecamatan Anggana) dengan rajanya yang pertama yakni Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325).

Kerajaan ini disebut dengan nama Kerajaan Tanjung Kute dalam Kakawin Nagarakretagama, yaitu salah satu daerah taklukan di Pulau Tanjungnagara oleh Patih Gajah Mada dari Majapahit.

Pada abad ke-16, Kerajaan Kutai Kartanegara dibawah pimpinan raja Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa berhasil menaklukkan Kerajaan Kutai[6] yang terletak di Muara Kaman.

Raja Kutai Kartanegara pun kemudian menamakan kerajaannya menjadi Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura sebagai peleburan antara dua kerajaan tersebut.

Pada abad ke-17, agama Islam yang disebarkan Tuan Tunggang Parangan diterima dengan baik oleh Kerajaan Kutai Kartanegara yang saat itu dipimpin Aji Raja Mahkota Mulia Alam.

Setelah beberapa puluh tahun, sebutan Raja diganti dengan sebutan Sultan. Sultan Aji Muhammad Idris (1735-1778) merupakan sultan Kutai Kartanegara pertama yang menggunakan nama Islami.

Dan kemudian sebutan kerajaan pun berganti menjadi Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura.

Kesultanan ini sempat mengalami perpindahan ibu kota kerajaan sampai tiga kali, mulai dari Kutai Lama, Pemarangan hingga ke Tepian Pandan.

Kesultanan Berau

Kesultanan Berau adalah sebuah kerajaan yang pernah berdiri di wilayah Kabupaten Berau sekarang ini.

Kerajaan ini berdiri pada abad ke-14 dengan raja pertama yang memerintah bernama Baddit Dipattung dengan gelar Aji Raden Suryanata Kesuma dan istrinya bernama Baddit Kurindan dengan gelar Aji Permaisuri.

Pusat pemerintahannya berada di Sungai Lati, Kecamatan Gunung Tabur. Sejarahnya kemudian pada keturunan ke-13, Kesultanan Berau terpisah menjadi dua yaitu Kesultanan Gunung Tabur dan Kesultanan Sambaliung.

Kesultanan Gunung Tabur

Kesultanan Gunung Tabur adalah kerajaan yang merupakan hasil pemecahan dari Kesultanan Berau.

Dimana Berau dipecah menjadi dua, yaitu Sambaliung dan Kesultanan Gunung Tabur pada sekitar tahun 1810-an.

Pada periode yang hampir bersamaan, agama Islam mulai masuk ke Berau menyusul kedatangan seorang ulama bernama Imam Sambuayan yang menetap di sekitar Sukan (Desa Sukan).

Kesultanan ini sekarang terletak dalam wilayah kecamatan Gunung Tabur, Kabupaten Berau, provinsi Kalimantan Timur.

Kesultanan Sambaliung

Kesultanan Sambaliung adalah kesultanan hasil dari pemecahan Kesultanan Berau, dimana Berau dipecah menjadi dua, yaitu Sambaliung dan Gunung Tabur pada sekitar tahun 1810-an.

Sultan Sambaliung pertama adalah Sultan Alimuddin yang lebih dikenal dengan nama Raja Alam.

Raja Alam adalah keturunan dari Baddit Dipattung atau yang lebih dikenal dengan Aji Suryanata Kesuma raja Berau pertama.

Sampai dengan generasi ke-9, yakni Aji Dilayas. Aji Dilayas mempunyai dua anak yang berlainan ibu. Yang satu bernama Pangeran Tua dan satunya lagi bernama Pangeran Dipati.

Kemudian, kerajaan Berau diperintah secara bergantian antara keturunan Pangeran Tua dan Pangeran Dipati (hal inilah yang membuat terjadinya perbedaan pendapat yang bahkan terkadang menimbulkan insiden).

Raja Alam adalah cucu dari Sultan Hasanuddin dan cicit dari Pangeran Tua, atau generasi ke-13 dari Aji Surya Nata Kesuma.

Raja Alam adalah sultan pertama di Tanjung Batu Putih, yang mendirikan ibu kota kerajaannya di Tanjung pada tahun 1810. (Tanjung Batu Putih kemudian menjadi kerajaan Sambaliung).

Kesultanan Bulungan

Kesultanan Bulungan atau Bulongan adalah kesultanan yang pernah menguasai wilayah pesisir Kabupaten Bulungan, Kabupaten Malinau, Kabupaten Nunukan, dan Kota Tarakan sekarang.

Kesultanan ini berdiri pada tahun 1731, dengan raja pertama bernama Wira Amir gelar Amiril Mukminin (1731–1777), dan Raja Kesultanan Bulungan yang terakhir atau ke-13 adalah Datuk Tiras gelar Sultan Maulana Muhammad Djalalluddin (1931-1958).

Kesultanan ini didirikan oleh sekelompok Kayan Di dalam Uma ‘Apan, dari daerah Apo Kayan, yang menetap di dekat pantai pada abad ke-7.

Pada tahun 1650, seorang putri telah menikah dengan seorang pria dari Brunei. Pernikahan ini mendirikan sebuah tradisi Hindu yang didirikan di daerah Tanjung Selor.

Pada tahun 1750, dinasti ini masuk Islam. Penguasa mengambil gelar Sultan dan mengakui pengikut sultan Berau, kedua mengakui dirinya pengikut Kerajaan Kutai.

Pada tahun 1850, orang Belanda, yang menaklukkan Berau pada tahun 1834 dan dikenakan kedaulatan mereka untuk Kutai pada tahun 1848, yang ditandatangani dengan Sultan Bulungan Kontrak Politik.

Bersemangat untuk memerangi pembajakan dan perdagangan budak, bersedia untuk melawan pembajakan dan perdagangan budak, mereka mulai untuk campur tangan di wilayah ini.

Sampai tahun 1860, Bulungan berada di bawah Kesultanan Sulu. Selama periode ini, kapal Sulu pergi ke Tarakan dan kemudian di Bulungan untuk perdagangan langsung dengan Tidung.

Pengaruh ini berakhir pada 1878 dengan penandatanganan perjanjian antara Inggris dan Spanyol yang dirancang untuk Sulu.

Pada 1881, Perusahaan Kalimantan Utara Chartered dibentuk, yang merupakan Borneo utara di bawah yurisdiksi Inggris, tetapi Belanda mulai menolak.

Kesultanan itu akhirnya dimasukkan dalam kerajaan Hindia Belanda pada tahun 1880-an kolonial.

Orang Belanda menginstal sebuah pos pemerintah di Tanjung Selor pada tahun 1893. Pada tahun 1900-an, seperti banyak negara-negara kerajaan lain di kepulauan ini.

Sultan terpaksa menandatangani Korte verklaring, pernyataan “singkat” oleh yang menjual sebagian besar kekuasaannya atas tanah hulu.

Orang Belanda akhirnya mengakui perbatasan antara dua wilayah hukum pada tahun 1915.

Kesultanan ini dikenakan status Zelfbestuur, “administrasi sendiri”, pada tahun 1928, lagi-lagi seperti banyak negara pangeran Hindia Belanda.

Penemuan minyak di BPM (Bataafse Petroleum Maatschappij) di pulau Bunyu dan Tarakan akan memberikan sangat penting bagi Bulungan untuk orang Belanda, karena Tarakan ibu kota daerah.

Setelah pengakuan kemerdekaan Indonesia dari Kerajaan Belanda, wilayah menerima status Wilayah Swapraja Bulungan atau “wilayah otonom” di Republik Indonesia pada tahun 1950, maka Wilayah Istimewa atau “wilayah khusus “pada tahun 1955.

Sultan terakhir, Jalaluddin, meninggal pada tahun 1958. kesultanan itu dihapuskan pada tahun 1959 dan wilayah itu menjadi kabupaten yang sederhana.

 

Reporter: pandalungan