Rembang – Di tengah derasnya arus kehidupan modern, ketika gym menjadi tempat pelarian kaum urban dan sepeda statis berseliweran di laman iklan, seorang penulis dan pemikir muda dari Rembang memilih “olahraga” versi lain—yang jauh lebih berat bobotnya, baik fisik maupun filosofis.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Adalah Achmad Shiva’ul Haq Asjach, atau yang akrab dikenal sebagai Gus Shiva, penulis buku Manajemen Konflik Rumah Tangga dan buku Kiai Tamam: Representasi Social Exemplarity dan Islamic Spirituality di Era Modern. Namun kali ini, bukan isi bukunya yang ramai dibicarakan, melainkan unggahan sederhana di akun Facebook resminya (yang sudah centang biru, jadi tidak perlu khawatir ini akun fans page abal-abal).

Dalam unggahan tertanggal Jumat, 23 Mei 2025, Gus Shiva menulis, “Saya tidak pernah meluangkan waktu khusus untuk berolahraga—kecuali hal yang seperti ini.” Sebaris kalimat yang diiringi potret penuh makna: ia terlihat menggendong dua anaknya sekaligus—yang satu nangkring di atas pundak seperti bendera kemenangan, dan yang satu lagi bersandar di dada, bak tameng cinta di medan perang.

Jika gym menguatkan otot perut, maka Gus Shiva sedang menguatkan otot kesabaran. Jika treadmill menguji stamina, maka dua anak kecil yang aktif adalah maraton hidup sesungguhnya. Dan jika barbel bisa menumbuhkan bisep, maka gendongan penuh cinta itu menumbuhkan kenangan yang tak tergantikan.

Dalam kalimat lanjutannya, ia menulis, “Mungkin nanti kalau saya diberi kesempatan umur untuk bisa membersamai mereka tumbuh dewasa, saya akan merindukan momen-momen ini.”

Seketika, netizen meringis haru. Beberapa mungkin sambil menggendong beban hidup masing-masing. Ada yang tersentuh, ada yang tertohok, dan ada pula yang akhirnya sadar: ternyata olahraga bukan sekadar aktivitas membakar kalori, tapi bisa juga jadi cara memperkuat ikatan, mengasah kesadaran, dan melatih otot jiwa.

Di era ketika narasi parenting sering kali penuh jargon dan teori yang bikin alis terangkat, Gus Shiva tampil dengan gaya khasnya: sederhana, reflektif, dan menggelitik. Ia mengingatkan kita bahwa menjadi orang tua bukan soal waktu luang, melainkan soal meluangkan waktu. Bukan tentang seberapa sering kita hadir, tapi seberapa dalam kehadiran itu bermakna.

Dan dalam dunia yang serba cepat ini, mungkin memang perlu sesekali kita melambat. Untuk menggendong. Untuk merangkul. Untuk mengingat bahwa momen kecil hari ini, bisa jadi adalah kenangan besar di hari esok.